Ekshibisi Lestarikan Tenun Ikat Sikka

Ilustrasi Penenun menyelesaikan proses akhir tenun ikat khas FLores, NTT, yang dipamerkan di Nusa Dua, Bali, Senin (8/10) (ANTARA | JEFRI TARIGAN)
Perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual kain tradisional Indonesia belum merata. Padahal, ini penting untuk mencegah risiko kepunahan. Sebagai bagian dari bentuk kepedulian sekaligus asa pelestarian kain tradisional, digelar Tenun Ikat Sikka Auction dan Marketplace di Jakarta, 15-17 Februari 2019.
"Sebenarnya ini adalah upaya untuk memperkenalkan ke masyarakat mengenai tenun ikat sikka, bagaimana dibuat dan berasal dari mana," ujar ketua penyelenggara event Waty Suhadi kepada HARIAN NASIONAL, Rabu (13/2).
Tenun ikat sikka merupakan kain ikat khas asli Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kain ini merupakan tenun ikat pertama yang dilindungi kekayaan intelektualnya. "Kami khawatir jika tidak ada pengenalan dan tidak ada regenerasi, tenun seapik dan secantik ini akan punah nantinya," kata dia, menambahkan.
Regenerasi, menurut Waty, merujuk bukan hanya pada usia-mengingat penduduk asli rata-rata sudah tak lagi muda-melainkan juga kemauan.
Secara keseluruhan, produksi kain tenun ikat cenderung sama. Namun, setiap daerah memiliki motif dan filosofi masing-masing. Proses pembuatan yang lebih rumit dan memerlukan ketekunan tingkat tinggi dibanding tenun pada umumnya menjadikan profesi penenun ikat sikka ini kalah populer.
"Karena benangnya harus diikat dulu untuk memberikan pola desain, kemudian diwarnai, baru setelah itu ditenun," kata dia, menjelaskan.
Waty menjelaskan, wujud pelestarian kain tenun ikat sikka tentu saja tidak melulu jadi penenun. Namun, setidaknya mereka bisa mewarisi keterampilan itu. Ia di sisi lain berharap, generasi muda dengan pemikiran cemerlang mereka bisa menciptakan produk-produk baru dari kain tenun khas Sikka ini, sehingga menambah nilainya.
"Sudah banyak desainer muda yang menciptakan karya dari produk tenun. Berangkat dari situ saya berharap dapat menarik anak-anak muda asli Sikka untuk belajar menenun seperti orangtua mereka. Kita semua bertanggung jawab terhadap heritage Indonesia."
Reportase : YOSI MAWARNI
Editor : Devy Lubis