UU Ketenagakerjaan Perlu Direvisi

Buruh dari sejumlah elemen memperingati Hari Buruh Internasional di kawasan Jalan MH Thamrin Jakarta, Rabu (1/5/2019). (ANTARA | WAHYU PUTRO )
JAKARTA (HN) -

Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 dinilai tidak sesuai industri saat ini. Kalangan pengusaha mengeluhkan aturan tersebut.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, perekonomian saat ini tidak produktif karena masih digerakkan dari kalangan masyarakat menengah atas.
"Level menengah ke bawah itu uangnya pas-pasan. Kenapa terjadi seperti itu? Ini ujung pangkalnya gara-gara Undang-Undang Ketenagakerjaan. Selama 16 tahun (UU Ketenagakerjaan) sudah betul-betul menyurutkan penyerapan tenaga kerja kita," katanya di Jakarta, akhir pekan lalu.
Apindo, kata dia, saat ini berupaya keras mendesak pemerintah mengamandemen Undang-Undang Ketenagakerjaan. Pengusaha ingin membuat peraturan tersebut menjadi lebih longgar dan sesuai revolusi industri 4.0.
"Kebetulan perilaku pekerja sudah berubah, (pekerja) milenial itu tidak mau bekerja 40 jam seminggu atau 8 jam sehari," ujarnya.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan, UU Ketenagakerjaan menghambat investasi, tapi bukan merupakan faktor utama. Pemicunya, faktor permasalahan birokrasi, biaya ilegal, banyak peraturan daerah tumpang tindih, dan sistem penegakan hukum yang lemah.

"Forum Ekonomi Dunia (yayasan organisasi nonprofit yang didirikan di Jenewa) menyebut sebagai kendala investasi," katanya kepada HARIAN NASIONAL, Minggu (5/5).
Menurut Timboel, revisi UU Ketenagakerjaan perlu dilakukan pada aspek jaminan sosial tenaga kerja dan teknologi pada era revolusi industri 4.0. Nantinya, status kerja tidak akan menjadi kendala jika jaminan sosialnya didapatkan antara pekerja formal dan informal dapat hak pensiun.
Pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia (UI) Rissalwan Lubis mengatakan, menghubungkan penyerapan tenaga kerja dengan produktivitas ekonomi dinilai terlalu menyederhanakan. UU Ketenagakerjaan bermasalah karena aturan turunan yang tak kunjung dibuat.
Faktanya, kata Rissalwan, aturan itu tidak menjadi penghambat kebijakan untuk industri menyerap tenaga kerja. Menurut dia, pernyataan UU Ketenagakerjaan menyurutkan penyerapan tenaga kerja keliru. "Justru proteksi yang lebih spesifik kepada tenaga kerja yang belum dibuatkan aturan turunan dari UU tersebut," ujarnya.
Selain itu, tarik-menarik kepentingan ketenagakerjaan antara serikat pekerja dengan pemilik usaha gagal dimoderasi pemerintah daerah. Idealnya, kata dia, pemerintah pusat dapat membuat aturan turunan UU Ketenagakerjaan yang dapat menjadi acuan pemda dalam memfasilitasi negosiasi upah minimum antara pengusaha dan pekerja.
Direktur Eksekutif Prakarsa Ah Maftuchan mengatakan, revisi aturan itu nantinya tidak mempersoalkan hubungan industrial seperti upah, perjanjian kerja, hubungan kerja, hingga pesangon.
"Revisi UU Ketenagakerjaan diperlukan sebagai payung hukum bagi rencana program Kartu Prakerja. Di samping itu juga diperlukan pengaturan perlindungan bagi purnakerja," katanya.
Ia menilai, pengembangan industri produktif yang berorientasi peningkatan nilai tambah bagi komoditas diperlukan untuk mendorong ekonomi nasional. "Industrialisasi diperlukan dan sebagai jalan terbaik bagi penyerapan tenaga kerja. Jika industrialisasi tidak digenjot, pekerja informal akan makin tinggi," ujarnya.
Reportase : Khairul Kahfi
Editor : Didik Purwanto