JAKARTA (HN) - Pemerintah masih berpeluang mengoptimalkan kinerja ekspor di tengah ketidakpastian global akibat pandemi virus corona baru (COVID-19). Pemerintah mesti merancang ekosistem bisnis di Indonesia tetap berjalan baik saat ini.
Ketua Bidang Ekonomi dan Keuangan BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Ajib Hamdani mengatakan, masih sangat terbuka bagi Indonesia untuk membuat selisih positif ekspor-impor. Ia menilai masih banyak sektor usaha di Indonesia yang masih memiliki keunggulan dibandingkan negara lain.
"Misalnya, kita bisa mengoptimalkan ekspor komoditas perkebunan, pertanian, dan perikanan," kata Ajib kepada HARIAN NASIONAL di Jakarta, Rabu (15/4).
Hingga kini, Hipmi telah mengidentifikasi Afrika sebagai pasar nontradisional bagi Indonesia untuk bisa dijajaki di bidang usaha perdagangan. Ajib menyebut pasar Afrika siap menyerap produk Indonesia.
Ajib mencontohkan, pihaknya telah menjajaki kerja sama dengan perbankan Tanzania untuk ekspor beberapa komoditas asal Nusantara. "Setelah pandemi berakhir, ini menjadi harapan besar Indonesia untuk menjalin kerja sama bilateral yang menguntungkan," katanya.
Selain itu, pemerintah juga harus mendesain kebijakan yang mengakomodasi peningkatan nilai tambah atas komoditas andalan. Seperti komoditas karet, minyak sawit (CPO), dan komoditas lainnya yang bisa diolah menjadi bahan jadi atau setengah jadi.
"Sambil menjaga permintaan ekspor tetap bagus dari negara lain, China salah satu mitra bilateral yang perlu dioptimalkan untuk memberikan kontribusi positif di neraca dagang Indonesia," ujarnya.
Ketua Komite Tetap Pengembangan Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Handito Joewono mengatakan, laporan neraca perdagangan Maret yang surplus menjadi kabar baik.
"Apalagi di tengah pandemi, ternyata ekspor Indonesia masih bisa meningkat. Kadin berharap ini akan terus berlanjut ke depan," kata Handito.
Saat ini, ia menilai, permintaan ekspor produk Indonesia tetap tinggi. Pengusaha masih akan terus mengoptimalkan ekspor produk Usaha Kecil dan Menengah (UKM) seperti makanan olahan, kopi, cokelat olahan, pakaian, dekorasi rumah, hingga furnitur kecil.
Selain ekspor ke negara besar, pengusaha juga mengidentifikasi pasar potensial di kawasan ASEAN, Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan.
Handito berharap, ekspor sepanjang tahun ini tidak akan turun. Apalagi, jika pemerintah menyiapkan produk UKM sehingga ekspor akan naik.
Kadin bersama Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mempunyai program pengembangan ekspor produk UKM From Local Go National Retailer Go Global serta UKM Millenial Go Export. "Jadi, ini waktu yang tepat bagi pemerintah memberi stimulus ke UKM, khususnya diarahkan ke UKM yang siap ekspor," ujarnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Indonesia pada Maret 2020 surplus US$ 743,4 juta. "Tentu surplus perdagangan ini menggembirakan di tengah situasi yang masih diliputi ketidakpastian," kata Kepala BPS Suhariyanto.
Menurut dia, neraca perdagangan nonmigas surplus US$ 1,67 miliar dan defisit migas US$ 932,6 juta. Ekspor naik 0,23 persen (mom) dari US$ 14,06 miliar menjadi US$ 14,09 miliar. Namun secara tahunan turun 0,2 persen.
Kinerja impor meningkat 15,6 persen (mom) menjadi US$ 13,35 miliar. Peningkatan didominasi sektor bahan baku-penolong dan konsumsi yang naik masing-masing menjadi US$ 10,28 miliar dan US$ 1,27 miliar.
Namun, ujar dia, Indonesia mesti mewaspadai kontraksi impor di sisi barang modal sebanyak 13,07 persen serta bahan baku 2,82 persen sepanjang kuartal I-2020. Keadaan ini kemungkinan akan memengaruhi pergerakan sektor industri, perdagangan, dan investasi.
"Indonesia perlu waspada (pelambanan impor utama) dengan merencanakan strategi di bulan-bulan berikutnya," ujarnya.
Antisipasi Persaingan Dagang
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, secara umum kondisi permintaan global dan harga komoditas yang cenderung menurun akan menciptakan persaingan dagang yang tinggi bagi Industri Kecil dan Menengah (IKM) di pasar ekspor. Mereka akan kesulitan menciptakan keuntungan ekonomi dalam kegiatan ekspor.
"Belum lagi, kelancaran perdagangan juga menjadi tantangan. Akibat banyak negara melakukan karantina dan menciptakan penundaan perdagangan yang mahal bagi IKM," kata Shinta.
Peluang peningkatan ekspor, kata dia, masih bisa direalisasikan pemerintah. Itu pun jika IKM bisa memanfaatkan permintaan global yang masih ada dan menjaga kecukupan modal serta produktivitas di dalam negeri. Selain itu IKM bisa memproduksi barang secara efisien dengan kualitas standar pasar global atau negara tujuan. "Tak lupa menjamin kelancaran suplai logistik ke negara tujuan."
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira mengatakan, surplus pada Maret kinerja semu akibat penurunan impor ketika industri manufaktur terkontraksi. Indeks PMI manufaktur kuartal I-2020 turun menjadi 45,64 persen, lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya dan periode sama tahun lalu.
"Artinya industri lebih mengerem pembelian bahan baku yang disebabkan beragam produksi di China belum normal akibat pandemi COVID-19," katanya.
Selain itu, impor barang konsumsi juga tertekan pelemahan daya beli akibat gelombang PHK yang secara otomatis menurunkan pendapatan masyarakat. Kinerja ekspor masih tertekan pelemahan harga komoditas, khususnya minyak mentah.
"Pelemahan permintaan global seiring prediksi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait penurunan volume perdagangan global hingga 32 persen sepanjang 2020," ujarnya.
Bhima mengharapkan pemerintah menyiapkan kebijakan jangka pendek untuk mendata potensi ekspor di pasar atau negara alternatif, seperti Afrika dan Eropa Timur yang minim terdampak COVID-19. "Tentunya harus diiringi insentif yang besar untuk eksportir."
Reportase : Khairul Kahfi
Editor : Didik Purwanto