Bergandeng Tangan Keluar dari Kegelapan

Indonesia bukan satu-satunya negara yang terdampak pandemi COVID-19. Virus ganas itu telah menyebar dan menelan banyak korban jiwa hampir di seluruh dunia. Perekonomian limbung, pemerintah kelabakan.
Vaksin tak kunjung ditemukan. Pengetahuan tentang virus corona baru pun belum sempurna. Semua negara seolah hanya bisa meraba-raba dalam kegelapan nan pekat. Namun, bagi Indonesia dan banyak negara lain, bergandengan tangan menjadi cara terbaik untuk kemudian mencari jalan keluar bersama-sama.
"Yang ingin kita bangun adalah kerja sama untuk solidaritas global," kata Teuku Faizasyah selaku Pelaksana Tugas Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI kepada HARIAN NASIONAL di Jakarta, 12 Mei 2020.
Sejumlah tindakan bersama telah digelar. Salah satunya, Indonesia bersama Ghana, Liechtenstein, Norwegia, Singapura, dan Swiss mengajukan draf resolusi kepada Majelis Umum PBB untuk mengutamakan kerja sama global melawan virus corona baru.
PBB lantas mengadopsi resolusi bertajuk "Global Solidarity to Fight COVID-19" tersebut, yang diputuskan secara aklamasi dalam forum virtual di New York, 2 April lalu. Ini produk pertama yang dihasilkan PBB terkait COVID-19. Penekanannya pada pesan politis mengenai pentingnya persatuan, solidaritas, dan kerja sama internasional dalam upaya mitigasi pandemi secara global.
"Dalam bingkai itu, seluruh negara diharapkan bahu-membahu demi kepentingan bersama. Tidak ada kendala atau tekanan tertentu, semisal dalam proses pengadaan dan pengembangan obat-obatan serta alat kesehatan," jelas Faizasyah.
Di ranah regional, pemerintah menggagas sejumlah pertemuan virtual dengan sesama anggota ASEAN. Pun mendorong negara-negara di Asia-Pasifik untuk melanjutkan diskusi guna mencari solusi terbaik di tengah keterbatasan saat ini.
"Inisiatif-inisiatif itu menunjukkan diplomasi kita terus bergerak dinamis. Kita melakukan beberapa terobosan untuk meneguhkan ikatan solidaritas antarbangsa," ujarnya.
Masalahnya, sejumlah negara kuat menunjukkan gelagat untuk mendahulukan kepentingan masing-masing. Ini menjadi tantangan tersendiri dalam menggalang kerja sama internasional. Tantangan tersebut meruncing di era pandemi. Salah satunya dalam memenuhi ketercukupan bahan pembuatan alat kesehatan dan obat-obatan.
"Ini yang menjadi perhatian kita. Kita harus pandai-pandai menyeimbangkan prinsip solidaritas internasional, tapi tidak terseret dalam arus kepentingan salah satu negara," kata Faizasyah.
Pengamat Hukum Internasional LIPI Adriana Elizabeth mengatakan jika penanganan pandemi memang berbeda-beda di setiap negara. Namun, prinsipnya sama. Setiap negara selalu berupaya menyelamatkan bangsanya. "Pemerintah Indonesia juga melakukan hal yang sama seperti negara lain, yakni mengutamakan keselamatan warga, termasuk yang berada di luar negeri," ungkapnya.
Bagi Adriana, upaya Indonesia menggalang solidaritas di panggung global merupakan langkah logis sebagai "negara papan tengah" (middle power). Kemampuan diplomasi negara middle power diakui dan dianggap cukup berpengaruh di tingkat global. Namun, tidak akan setara jika dibandingkan dengan negara-negara adidaya, yang kenyataannya lebih kuat secara ekonomi dan militer.
Dalam hubungan internasional, negara-negara adidaya selalu berusaha mendiktekan tata dunia. Amerika Serikat, China, Rusia, Inggris, Prancis, Jerman, dan Jepang masuk dalam kelompok ini. Terlebih jika sudah menyentuh kepentingan fundamental. Mereka tak segan-segan menekan negara lain dan bahkan lembaga internasional untuk memenuhi keinginannya.
AS, misalnya, tega memutus sumbangan dana tahunan untuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tepat di saat lembaga tersebut membutuhkan dukungan maksimal dari segala pihak. Alasannya, WHO dianggap bias ke China, padahal AS merupakan donatur terbesar.
Washington juga terang-terangan berusaha menguasai akses distribusi vaksin yang tengah dikembangkan perusahaan farmasi Prancis (Sanofi) dan Jerman (CureVac). Jika kelak vaksin tercipta, AS harus mendapat pasokan lebih dulu ketimbang negara lain.
Beberapa waktu lalu, Presiden Donald Trump bahkan mengancam India jika tidak segera mengirim klorokuin dan hidroksi klorokuin ke AS. Otoritas medis negara tersebut meyakini obat malaria dapat membantu proses pemulihan pasien COVID-19 lebih cepat.
Sikap seperti itu, di konteks pandemi, mendorong negara-negara middle power untuk bersatu dan menyuarakan kepentingan bersama. Jika banyak negara bergabung dalam satu suara untuk solidaritas, praktik-praktik unilateral di sektor kesehatan bisa dicegah.
"Salah satu kekuatan diplomasi middle power adalah mendorong solidaritas bersama seperti dalam aspek kemanusiaan terkait pandemi COVID-19," katanya. "Ini merupakan strategi Indonesia untuk mewujudkan sikap dan perilaku sebagai middle power yang patuh pada aturan bersama dan tidak memihak kepentingan adidaya."
Indonesia berusaha memaksimalkan peranan tersebut. Kedaulatan pemerintah selama menangani krisis kesehatan di dalam negeri menjadi landasan utama untuk berargumen di panggung dunia.
Sejauh ini, Indonesia tidak mengandalkan bantuan asing dalam menjawab segala masalah dampak COVID-19. Sebaliknya, pemerintah berusaha mengatasi krisis dengan segenap kemampuan, seraya bertindak sesuai koridor komitmen yang digariskan komunitas internasional.
Namun, menurut Adriana, pemerintah masih perlu meningkatkan beberapa elemen lain yang kelak mendukung citra positif dan konsistensi Indonesia di pergaulan internasional. Khususnya sesudah pandemi berakhir.
"Indonesia berada dalam radar kompetisi global. Bahkan di kalangan negara-negara besar. Jadi, kita perlu meningkatkan strategi yang visioner untuk merancang proyeksi arah dalam kompetisi global ini, khususnya di bidang teknologi kedokteran dan farmasi," terang Adriana.