#NGEMILSEHAT
Cokelat Penyembuh Jiwa

Sebatang cokelat memang tidak bikin kenyang. Namun, rasanya enak. Bukan hanya di mulut, melainkan juga di perasaan. Cokelat membantu kita feeling good.
Kelewat mantap, kita sering terlena. Alih-alih menikmati sepotong kecil patahan cokelat bar, kita menyantap semua. Setelah itu, timbul rasa bersalah karena menghabiskannya hingga tak bersisa.
Lalu, terbersit asumsi di kepala bahwa cokelat membuat kita gendut. Terlebih, kalau makan terlalu banyak. Benarkah cokelat itu tidak baik untuk kesehatan?
“Tergantung jenisnya,” ujar dr Johannes Georg Wechsler, ketua Asosiasi Dokter Gizi Jerman, seperti dinukil dari DPA, Selasa (2/6).
Cokelat hitam (dark chocolate), misalnya. Cokelat ini mengandung 70 persen kakao yang memberikan dampak positif pada tubuh. Wechsler mengatakan, ini berkat kandungan flavanol dalam kakao, bahan utama pembuatan cokelat.
Flavanol adalah sekelompok senyawa bioaktif yang terkandung dalam makanan nabati tertentu. Senyawa organik ini membantu menjaga pembuluh darah tetap elastis. Juga terbukti sedikit banyak dapat menurunkan tekanan darah tinggi.
Cokelat hitam dengan cita rasa pekat memiliki proporsi flavanol lebih tinggi dibanding cokelat berwarna terang karena kandungan kakaonya lebih banyak. Sementara cokelat berwarna terang dengan cita rasa lebih ringan mengandung lebih banyak gula dan lemak.
“Bila dilihat dari aspek kesehatan, dark chocolate jadi pilihan,” kata Wechsler, merujuk studi ilmiah yang menunjukkan bahwa cokelat gelap dapat menurunkan risiko penyakit kardiovaskuler, terutama jika mengandung kacang.
Faktor lain yang mendukung asumsi bahwa ngemil cokelat, baik gelap maupun terang, itu baik adalah kandungan vitamin dan mineral seperti zat besi, kalsium, serta magnesium dalam cokelat.
Dan, penting untuk selalu diingat, nilai kandungan gizi pada sebatang cokelat selalu tercatat di kemasan. “Ada baiknya kita memeriksanya sewaktu belanja dan sesekali membandingkan beberapa jenis cokelat bila tersedia.”
Ceriakan Suasana Hati
Meski begitu, apa pun jenis cokelat yang kita pilih, menyantapnya akan mendatangkan efek psikologis yang positif. Ahli gizi Ingrid Acker mengungkapkan, cokelat dapat memperbaiki suasana hati.
“Dan, makanan ini benar-benar enak,” kata dia.
Efek positif tersebut sebagian disebabkan oleh tritofan, asam amino esensial yang terkait dengan produksi serotonin—neuotransmitter yang sering kali disebut sebagai ‘hormon kebahagiaan’.
Bagaimanapun, sejumlah ilmuwan meragukannya. Benarnya sejumlah kecil triptofan dalam cokelat cukup untuk memicu ‘kesenangan’ di otak. Hal yang sama berlaku untuk theobromine, alkaloid pahit dari tanaman kakao yang konon memiliki efek yang sama.
Acker menilai, efek ini kemungkinan karena cokelat kerap diasosiasikan dengan kenangan indah. “Saat menikmatinya, sedikit banyak kita dengan sadar memikirkan hal-hal baik di masa lalu, seperti momen ketika kita kecil,” tuturnya.
Tak heran, dengan cara ini, cokelat secara psikologis berdampak positif pada tubuh. Bahkan, kata Wechsler, memiliki efek antidepresi.
Konsumsi Sehat
Ada orang-orang yang menyantap sedikit cokelat setiap hari. Ada pula yang ogah memakannya, dengan alasan kadar gula dan lemak yang relatif tinggi. Acker punya pandangan tersendiri.
Ia tidak serta-merta mencoret cokelat dari pola makan sehat. “Terus terang, tidak ada makanan yang layak disebut ‘tidak sehat’, kata Acker.
Bahkan, gula dan lemak pun ada manfaatnya. Dalam kombinasi yang tepat dengan makanan lain, cokelat dapat diterima sebagai bagian dari diet seimbang. Alhasil, saat diet ketat untuk mengurangi berat badan pun, bukan berarti kita tidak boleh sama sekali mengonsumsi cokelat.
“Mengurangi asupannya itu bagus, tapi untuk tidak memakannya, saya kira itu bukan ide yang baik. Pantangan (dalam konteks ini terhadap cokelat) malah akan membuat kita semakin penasaran,” kata Acker, menjelaskan.
Senada, Wechsler juga berharap, masyarakat tidak dengan mudah menetapkan pantangan terkait asupan makanan.
“Yang penting adalah menjaga keseimbangan energi harian secara tepat. Dan, itu berbeda di masing-masing orang. Jadi, sah-sah saja makan cokelat, dengan porsi yang tepat dan tanpa rasa bersalah.”