Pemerintah dan DPR Perlu Duduk Bersama Bahas Soal Guru PAUD

Direktur Pendidikan Anak Usia DIni (PAUD), Dr Muhammad Hasbi berharap Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan Komisi X DPR RI dapat duduk bersama membahas dimasukannya skema UU Guru dan Dosen yang dapat mengakomodasi profesi guru yang mengajar di satuan PAUD. Harapan itu disampaikan sebagai penjelasanan tambahan terhadap pernyataan Wakil Ketua Komisi X DPR, Abdul Fikri Faqih ketika ditanya wartawan terkait kesejahteraan guru PAUD yang masih sangat kecil dan profesi guru PAUD belum ada dalam nomenklatur perundangan.
Hasbi menuturkan, dalam Undang Undang (UU) No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sesungguhnya profesi guru PAUD telah diakui. Namun, memang terdapat guru PAUD di jalur non formal di tingkat satuan PAUD yang tidak termasuk sebagai kategori guru PAUD. Mereka adalah guru PAUD di Kelompok Bermain, Tempat Penitpan Anak (TPA), dan Satuan PAUD Sejenis (SPS).
“Ini yang dimaksud dengan guru PAUD yang tidak tercantum dalam UU Guru dan Dosen No 14 Tahun 2005," ujar Dr Hasbi di sela acara Workshop Pendidikan bertema "Kondisi Kesehatan dalam rangka Akselerasi Pembelajaran Tatap Muka" di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Jumat (15/10).
Dia mengatakan, karena hal ini terkait dengan perangkat hukum perundang-undangan, maka pemerintah dalam hal ini Kemendikbudristek dan Komisi X DPR diharapkan dapat kembali melakukan pembahasan terkait persoalan ini agar bisa disesuaikan sehingga baik guru PAUD yang formal maupun non formal dapat diakui dalam skema UU Guru dan Dosen. Dengan demikian semua guru PAUD dapat memperoleh hak yang sama dengan guru-guru lainnya.
Dalam dua tahun ini, kata dia, guru PAUD mendapat Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) yang lebih fleksibel dibandingkan dengan tahun sebelumnya. "Sejak Mendikbud di bawah Menteri Nadiem Makarim, BOP diberikan kepada guru jauh lebih fleksibel. Tidak lagi diatur persentasi, tidak diatur bagaimana skema pembiayaan sehingga BOP guru PAUD bisa dinikmati untuk kesejahteraan guru," ujarnya.
Menariknya, menurut Hasbi, hal tersebut ditentukan langsung kebutuhanya oleh sekolah bukan lagi oleh Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota, juga tidak ditentukan oleh Kemendikbudristek tapi langsung oleh sekolahnya berapa persentasi yang bisa digunakan untuk membantu membiayai kesejahteraan guru,
"Namun, tentu kita juga terus mendorong agar pemerintah daerah kabupaten/kota, dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Bappeda ikut membantu mengalokasikan tambahan biaya karena secara kongkruen menurut UU No 23 Tahun 2014 disebutkan bahwa guru di satuan Pendidikan Anak Usia Dini berada di bawah kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota, sehingga kita meminta peran aktif dari pemerintah daerah agar ikut serta memperhatikan PAUD," ujarnya.
Sejatinya, BOP sudah diperbolehkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim untuk membayar honor dan uang transport guru. Hal itu tertuang melalui Peraturan Mendikbud Nomor 20 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Permendikbud Nomor 13 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Dana Alokasi Khusus Fonfisik Bantuan Operasional Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Kesetaraan.
“Lewat aturan ini, BPO bisa untuk honor dan uang transport guru. BOP tidak diatur lagi persentasenya, tetapi itu tadi, tetap butuh BOP dari daerah,” tuturnya, seperti disampaikan melalui siaran pers.
Hasbi menjelaskan, selain untuk membayar honor guru, BOP nantinya juga bisa dimanfaatkan untuk membeli sabun, desinfektan, dan masker. BOP juga bisa digunakan untuk membelian pulsa atau paket data guru dan siswa maupun layanan pendidikan daring berupa aplikasi berbayar.
Hasbi mengharapkan, Disdik daerah membantu menggaji guru PAUD sebab BOP PAUD dari Kemendikbudristek tidak akan cukup. ”Dalam berbagai kesempatan kita selalu menyampaikan agar Dinas Pendidikan tolong perhatikan PAUD dengan dibantu melalui BOP daerah atau dari dana desa sebab BOP PAUD dari pusat sangat terbatas,” kata Hasbi