Kesetaraan Hak Guru PAUD Formal dan Nonformal Harus Terus Diperjuangkan

Ketua Komisi X DPR, Syaiful Huda mengatakan komisinya saat ini mempunyai pekerjaan rumah legislasi untuk menjadikan wajib belajar sembilan (SD, SLTP, dan SLTA) ditarik ke bawah menjadi 12 tahun hingga jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Hanya dengan cara demikian eksistensi serta pondasi pendidikan anak Indonesia akan semakin kuiat.
“Kesadaran pentingnya PAUD menjadi bagian dari wajib belajar akan memberikan manfaat jangka panjang yang baik dalam membentuk generasi emas," ujar Syaiful Huda dalam sambutannya saat membuka Workshop Pendidikan yang bertema "Bergerak Bersama untuk Pemulihan Belajar Menuju PAUD Berkualitas" di Bandung, Jawa Barat, Senin (22/11/2021).
Workshop dihadiri Direktur PAUD Kemdikbudristek, Dr Muhammad Hasbi, Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat, H Deddy Supendi, dan Asisten Bidang Pendidikan dan Kesar Kota Cimahi, Dr Maria Fitriana MM yang membacakan sambutan Bupati Cimahi. Hadir juga Acara kepala sekolah, Ketua Yayasan Pendidikan, dan guru se-Kabupaten Cimahi,.
Menurut Syaiful, sesungguhnya beberapa waktu lalu organisasi guru PAUD dan elemen masyarakat telah melakukan yudicial review terhadap Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No 20 Tahun 2003 yang dinilai kurang adil dalam memposisikan guru PAUD. Melalui yudicial review para guru PAUD menghendaki adanya kesetaraan hak antara guru formal dan non formal.
Dia mengatakan, meskipun telah sama-sama diakui sebagai pendidik oleh UU Sisdiknas, ternyata yang diakui sebagai guru oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen hanya pendidik PAUD formal. "Meski belum berhasil, hal itu harus terus diperjuangkan. Pengertian guru harus mencakup pendidikan PAUD formal dan PAUD nonformal," ujarnya.
Pertimbangan pemerintah saat itu tidak memasukan guru PAUD sebagai pendidik formal tetapi pendidik nonformal, kata dia, karena adanya keterbatasan anggaran. "Saat itu saya sudah melakukan upaya counter draft untuk menyanggah. Sebetulnya kalau saja negara mengalokasikan anggaran pendidikan 20 persen atau sebesar Rp 541 triliun, sebanyak 50 persen atau sekitar Rp 250 triliun diberikan kepada Kemdikbudristek, maka semua guru PAUD akan jauh lebih baik kesejahteraanya," tuturnya.
Saat ini, ujar Syaiful Huda, pemerintah dalam hal ini Kemdikbudristek, dari 20 persen anggaran pendidikan atau sebesar RP 514 triliun, hanya mengelola Rp 87 triliun. Pendidikan berbasis keagamaan yang ada di bawah Kementerian Agama mendapat Rp 55 triliun, sisanya langsung ke daerah lewat Dana Alokasi Khusus (DAK).
Dia menuturkan, dari segi pembayaan satuan pendidikan tiap siswa, saat ini pendidikan di Indonesia masih tertinggal dari negara lain. Pemerintah melalui APBN hanya mengalokasikan bantuan setiap anak sebesar Rp 1,2 juta pertahun lewat BOS dan BOP Pendidikan.
Negara tetangga seperti Singapura mengalokasikan sekitar Rp 10 juta per tahun untuk setiap anak, Malaysia mengalokasikan sekitar Rp 7,5 juta. "Jadi untuk money follow student untuk Indonesia idealnya dibutuhkan Rp 3,2 juta per tahun untuk setiap anak dari Sabang sampai Merauke," ujarnya,
Selain itu, menurut dia, setelah money follow student yang selanjutnya perlu dipikirkan adalah money follow teacher sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan guru nasional.
"Kegelisahan saya yang lain adalah menghapus adanya dikatomi atau perbedaan perlakukan antara sekolah negeri dan sekolah swasta. Ke dapan saya sangat berharap tidak lagi ada perbedaan atau terjadi diskriminasi terhadap sekolah swasta. Sesuai amanat undang undang, semua sekolah atau entitas pendidikan harus diperlakukan adil," ujarnya.